Kamis, 24 Agustus 2017


MENJADI JOGJA MENJADI INDONESIA

      Keromantisan kota Jogja yang sering ku lihat di televisi menjadi imaginasi dalam otakku di tengah dinginnya malam diantara suara-suara jangkrik dan ranting yang yang dibelai agin malam. Terbayang kisah cinta segala drama di dalam benakku. Sembari ku siapkan segala keperluan yang kubutuhkan untuk memulai drama indah di kota Jogja impianku. Tidak berlebihan , tapi Jogja benar-benar menjadi tempat yang bisa ku sebut sebagai kota teka-teki. Karna Jogja selalu menjadi nama terbanyak jika aku vote suara destinasi yang ingin di kunjungi orang-orang sekitarku, dari kecil. Dan sekarang diantara detak jam dinding yng menunjukkan tengah malam ku sipakan diriku untuk memecahkan teka-tekiku pada Jogja

         Betapa hebatnya negaraku , dia siapkan tanah untuk kupijaki, dan langit untuk ku pandangi , begitupun dengan alam dan kekayaan budayanya yang ku nikmati. Indonesia , betapa rugi nya aku jiga bukan menjadi bagian darinya.

Untuk pertama kalinya aku dan diriku menjejakan kaki ku di tanah daerah istimewa, kota yang didambakan semua pelajar, pusat pendidikan yang dikenal semua orang begitupun dengan budaya yang tak kenal habisnya. Jejak kaki pertamaku pada pagi hari tanggal 31 desember 2016  pukul 06.45 di tanah alun-alun Jogja , dengan soto dan ampela lesehan diantara lalu lalang ibu dan bapak lanjut usia dan juga anak muda yang berolahraga. Dingin pagi juga segelas teh panas dengan pemandangan hangat seperti ini memberiku kesan damai.

       Kaki ku kembali memberi jejak pada perjalanan lain, tak mau berkedip, bangunan-bangunan kecil dari kayu, lesehan-lesehan pagi dan pedagang yang ramah selalu senyum juga paras-paras masyarkat madani yang hangat membuatku merasa berjalan di rumah. Langit cerah menandakan kehadiranku disambut baik oleh tanah Jogja.

       Langkahku terhenti oleh dua pohon beringin besar di tengah lapangan dengan pagar putih dan rindang. Tersentak diriku pada suatu drama yang seingatku ada sepasang kekasih berlarian diantara dua pohon ini. Konon katanya jika kita menutup mata dan berjalan lurus melintasi dua pohon ini maka apa yang kita inginkan akan tercapai. Ada banyak sekali orang disini, tua, muda, lelaki,perempuan,berkerudung dan ada yang berurai rambut, mata bola pimpong sampai sipit sekalipun ada disini, mereka tertawa lepas saat mengetahui mereka sudah melewati pohon ini.  Tak perlu pikir panjang lagsung saja ku tutup mataku dan berdoa. Namun langkahku ku hentikan mendengar suara teman-temanku yang terdengar sudah sangat jauh, dan saat ku buka tutup mataku jauh sudah kaki ini berjalan, maksudku jauh dari dua pohon beringin itu. Nampaknya kali ini niatku belum sungguh-sungguh.

        Negara ku adalah negara kaya raya, bukan hanya kaya alamnya namun juga kaya akan SDMnya. lalu siapa yang tak kenal dengan Indonesia ku yang menyebar di atas samudra dan membentang luas dengan budaya dan perbedaanny, tapi tetap satu sahaja "Indonesia". di tengah tanah Alun Jogja ini ku kokohkan percayaku pada negaraku, bahwa persatuan ada dimanapun. buktinya disini, tak satupun ku lihat orang yang memandang aneh pada orang lain karna berbeda. 
        Kakiku rasanya tak mau diam di satu tempat, semakin jauh berjalan mataku terbelalang karna sebuah bangunan khas Jogja “keraton”. Jadi terbayang rumah gadang di Ranah Minangku. Sungguh indah dengan nuansa putih coklat , benar-benar klasik yang mahal. Sayangnya pagi ini Keraton tutup, jika ada kesempatan lagi aku ingin masuk dan menari di sana dengan tubuh yang di gulung kain batik atau duduk dan menikmati wayang,atau menjadi putri sehari disini. Salah satu kekagumanku adalah perempuan Jogja, siapa yang tak kenal dengan perempuan-perempuan berparas cantik nan anggun gemulai dan ayu. Ditambah setiap senyum dan cara berbicara dan semua tentangnya membuat ku iri sebagai perempuan juga. Bagaimana tidak, banyak sekali artikel-artikel yang menceritakan kekagumannya pada wanita Jogja, bukan hanya paras menurutku, namun watak dan kecerdasannya pun memukau.
        Bukan aku, kali ini teman-temanku menyerah, karna perjalanan yang cukup jauh Padang-Batam-Semarang-Jogja, hingga mencari penginapan adalah solusi terbaik. Sepanjang jalan aku benar-benar tak bisa memejamkan mata meskipun lelah sudah mengundang ku pada alam yang berbeda, namun rasa penasaranku rasanya lebih kuat untuk melawan ngantuk dari pada segelas kopi. Jendela mobil kubuka lebar, menurutku sayang jika kulewatkan udara pagi Jogja ini, entah kapan bisa ku pijakkan kakiku kembali kesini. Orang-orang disini sibuk, sepagi ini sudah berjalan dan sudah ramai tak seperti di kampungku. Degan tidak lupa tersenyum sebagai ciri khasnnya dan keramahan yang membuatku kagum diantara sibuknyapun masih bisa tersneyum. Namun ini kelewatan, aku rasa kami mengambil jalan yang salah , semua penginapan yang kami kunjungi penuh, sampai pada persinggahan terakhir yang diunjuang tanduak antara lelah dan pasrah satu penginapan menerima kami dan hanya ada satu kamar yang tersisa. Menurutku karna sekarang akan ada malam pergantian tahun baru jadi semua penginapan penuh. Namun kami harus menunggu dulu pembatalan dari seorang pelanggan di kamar yang hanya satu-satunya ini. Disini rindang, pohon-pohon kecil yang banyak dan patung singa di depan penginapan ini membuatku kagum. Dengan interior yang sangat amat klasik, aku paggil ini “Jogjastyle” dengan hiasan dinding dan fhoto seorang perempuan memakai kebaya dan selempang batik dengan konde dan lipstick merah, ibu kartini. Bahkan pelayannnya pun mmakai konde dan kebaya. Jogja membuatku jatuh cinta pada hal-hal berbau klasik. Benar-benar cinta.
        Setelah istirahat dan bahkan akupun tertidur pulas, rasanya jika ada tentara Belanda, mungkin akulah tawanan prtamanya karna aku sendiri yang tertidur. Semua teman-temanku sudah bersiap dengan dandanannya sementara itu akupun mandi dan bersiap. Perjalanan tak selancar itu, mobil yang kami sewa   h-1 perjalanan dengan harga tawar yang cukup sengit ini mogok, butuh waktu beberapa jam untuk memperbaikinya karna harus menunggu montirnya dulu, akupun sempat berfikit untuk pergi berjalan kaki ke pusat kota untuk merayakan tahun baru.
        Kami memutuskan tahun baru di Tugu Jogja  karna hanya itu tempat yang cepat untuk di datangi, apalagi dengan keadaan yang penuh dengan lautan manusia ini. Setelah parkir kmi berjalan kaki sekitar 1km juga untuk ke tugunya. Ramai sekali bahkan aku berhenti di tengah jalan hanya untuk mengambil satu fhoto diriku diantara keramaian. Benar-benar ramai, bahkan untuk berjalan saja ke Tugunya semua orang berdesak-desakan tapi tidak dorong mendorong. Itulah hebatnya, banyak sekali orang yang ku lihat , mungkin bukan hanya dari suku atau daerah yang berbeda tapi juga dari Negara yang berbeda. Pandangan ku tertahan agak lama pada kakek bertopi batik “blangkon” kata abangku, beliau dengan cucu perempuannya duduk di gerobak yang penuh dengan botol minum manusia-manusia ramai ini di sebelah kanan jalan mencari tempat yang agak longgar untuk beristirahat sambil menunggu pesta kembang apinya. Melihat beliau tertawa saat cucunya berteriak melihat kembang api kecil yang baru saja di nyalakan oleh kakek ini. Satu bungkus saja kembang api namun setiap percikannya memberikan tawa dan bahagia pada dua manusia yang penuh cinta ini. Bahkan mereka tak peduli sekalipun negaranya tak memenuhi hak mereka. Jika saja mataku bisa merekam akan ku beritakan pada semua orang yang mencari kebahagiian, agar saat melihat ini mereka tahu bahwa kebahagiaan akan datang dari hal sekecil apapun dengan bersyukur dan cinta.
Malam ini adalah malam pergantian tahun terhebat dan paling berkesan di dalam hidupku, terimakasih Jogja. Tak akan pernah kulupankan malam ini. Ku patri kenangan inidalam dalam di hati.
        Hari kedua di Jogja dan untuk hari pertama di tahun 2017 kami membuka makanan dengan semangkuk bakso, seingatku namanya bakso Mas Alex. Murah meriah dengan rasa yang sangat amat lezat, atau mungkin karna hatiku yang sedang dilanda bahagia maksimum jadi apa yang kulakukan menjadi hal terbaik olehku. Berikutnya mencari hotel yang murah meriah sesuai dengan saku para backpacker ini tentunya. Setelah beristirahat sebentar di hotel kami memutuskan pergi ke Tempo Gelato, aku dengar ini ice cream yang enak. Karna aku tak tau arah dan jalan, tentu sebagai penumpang aku manut saja.
Dari sana kami kembali ke hotel karna Gibran sebagai satu-satunya supir ingin beristirahat. Sampai di hotel smua orang merebahkan diri kecuali aku,bang Dika, dan bang Bayu. Rasanya masih ingin mengeksplore kota pelajar ini. Kami putuskan untuk mencari makan di lesehan dengan berjalan kaki di sekitar hotel saja. Tapi, di depan hotel aku melihat ada becak, tiba-tiba saja bang Dika usul untuk pergi ke Malioboro dengan becak. “satu becak bertiga”. Awal nya aku kira becak ini becak dayung ternyata masyarakat Jogja ini memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mempermudah usahanya, “becak motor”. Aku yakin meskipun tak sehebat negri pamansam tapi jika di hadapkan pada globalisasi negaraku tak kalah saing dengan mereka, buktinya bapak ini memodifikasi becaknya.
        Sepajang jalan ingin rasanya aku cabut kluar hatiku sebentar saja agar dia bisa berteriak sekencang-kencangnya betapa jatuh cintanya dia pada Jogja. Angin malam yang sejuk dan canda tawa kami mengukir kenangan indah di setiap perhentian, begitu juga dengan abang becak ini. Saat lampu merah pun sempat-sempatnya aku mengambil foto selfie kami berempat, fhoto ini bukan fhoto biasa, senyuman abang becak membuat ini lebih mahal. ditambah dengan gerimis hujan yang jatuh perlahan di sorot lampu jalan menghanyutkan aku pada suasana romantis bak di TV.
        Malioboro di depan mata,  tak mampu aku berkata banyak disini disini, habis sudah ucapan kagum ku, hilang sudah kata-kata indahku untuk mengungkapkan keramaian ini. seperti katak yang terlalu lama di dalam tempurung, hingga lupa dengan indahnya dunia.  Malioboro , tidak afdol jika ke Jogja tanpa menyentuh Malioboro, dan aku penyentuhnya di tengah keramaian malam. Sekali lagi kuucapkan terimakasih pada Jogja, telah mebuatku mengerti arti kebersamaan membuatku merasakan hari yang sangat indah dan mengesankan. Sekumpulan orang bersorak riang di depan ku , mereka bersorak menyahut music gamelan, gambang, gendang berwarna coklat muda dan satu alat musik yang menyerupai talempong di kampungku yang di padukan dengan biola, gitar dan alat music modern lainnya, menari dan tertawa, aku pun tak mau ketingalan. Ini seperti rumah, aku tak merasa takut sedikitpun, semua orang disini sama, mereka hanya menari dan tertawa berusaha melupakan masalah dan meluangkan waktu untuk berkompromi dengan diiri mereka sendiri, menciptakan kedamaian, begitu juga aku.
       Menikmati segelas es teh dan bebek bakar dengan nyanyian yang silih berganti dan penyanyi pun yang selalu berganti. Membuatku ingin mengunyah makanan ku 33 kali sebelum jatuh ke perutku. Boleh ku katakana Jogja sebagai wadah kreatif bangsa, disini semua orang menjadi diri mereka sendiri, menawarkan hasil karyanya, menjual kreatifnya sebgai suatu yang sepantasnya di hargai.  Dari anak-anak, remaja, dewasa sampai tua.ada yang menari, bermain musik dan didominasi dengan lagu-lagu klasik. pria-pria dewasa menjajakan lukisan dengan setelan kemeja nan rapih, benar-benar mendalami peran dan gagah.
           ramai kaki lima
           menjajakan sajian khas berselera
           musisi jalanan mulai beraksi
           merintih sendiri
           ditelan deru kotamu, nikmati bersama 
           suasana Jogja..
diantara lirik-lirik lagu klasik KLA Project yang sudah tak asing ini ku perhatikan bapak tua dengan pakaian serba putih dan peci putihnya juga rambut putih alaminya dengan kepandaiannya memijit. Tapi ada yang salah, beliau duduk di lantai jalan para pejalan kaki sambil memegang kaki seorang pelanggan berkemeja merah putih, dengan perut buncit tanda kemakmurannya dan sebuah handphone canggih yang sedang diotak atiknya. Aku seperti melihat slogan-slogan hsil lomba untuk memperingati hari merdeka dulu, dimana ada orang berdasi dan rakyat tak mampu di bawahnya. Persis sama. Hatiku kacau, bahagia karna bapak tua itu mendapat pelanggan tapi sdih juga dengan kondisi beliau memijit kaki tepat di bawah pelanggannya yang duduk di salah satu kursi besi yang memang ada sepanjang jalan disini. Malam ini Malioboro mengajarkan ku betapa indahnya negaraku, betapa hebat dan kreatifnya generasi-generasi titipan para pahlawan ini, dan mengajarkanku rasa hormat, hati yang menggebu untuk menjadi seseorang yang berguna kelak, jika di beri kesempatan 10thun lagi maka tidak akan lagi aku lihat perbedaan kasta, setidaknya akan ku tanamkan rasa sayang dan menghormati di negaraku.
         Saat mencari becak untuk pulang ku sempatkan membeli gelang yang di obral 100 rupiah per gelang, yang sampai saat ini masih kupakai. Tak ada satu pun becak yang mau mengantar kami pulang dengan kondisi hujan pula di tambah waktu yang sudah hampir menjilat pagi. Sambil menunggu taksi kami duduk menikmati  segelas bandrek bersama untuk menghangatkan badan. Hujan Malioboro akan ku kenang sebagai pelajaran berharga dalam hidupku, hujn ini menjadi saksi makin jatuhnya aku pada cinta tanah Jogja.
Tak lagu ku pertanyakan kenapa banyak orang mendambakan Tanah Jogja.
        Hari ketiga sebagai hari terakhirku di tanah Jogja tak akan ku sia-siakan. Tujuan pertama adalah Taman sari, ku kenakan gaun putih sebagai tanda damainya hatiku berada disini. Baru saja sampai , pemandangan bangunan-bangunan tua sudah menyambut kedatanganku. Aku sedikit berlari karna tak sabar ingin melihat semua bangunan di dalam sana. Lagi-lagi tak mampu berkata bangunan ini benar-benar sejarah, batu terkikis oleh hujan sedikit berlumut dan berwarna pekat membuatku tak mau bergerak meninggalkan tempat ini . Tak ku hiraukan lagi baju putih ku, ku panjat tinggi batu besar ini dan duduk disana, menikmati angin terakhir ku di Jogja, bersyukur dengan apa yang telah ku lihat dan dapat disini. Bangunan-bangunan yang penuh lorong da penuh sejarah ini membuatku membayangkan berada pada tahun 40an yang kulihat di buku sejarahku saat kelas  5 SD. Ingin sekali berlama-lama disini, namun karna harus pulang lebih awal aku harus cepat-cepat mengabadikan diriku disini.
        Tak terlalu banyak hal yang terekspost oleh ku di hari terakhir ini, namun saat pulang kami sempatkan betul singgah di Malioboro lagi untuk bebelanja, memang suasana Malioboro bagiku siang dan malam sangat berbeda, apa mungkin karna aku menyukai ramainya malam. Sebelum memulai misi berbelanja ini aku dan teman-temanku memutuskan makan terlebih dahulu, karna hemat kami makan di kedai nasi padang pinggiran yang bertuliskan harga 10.000. Namun tak di sangka etek yang menjual nasi padang ini juga merupan kerabat ku, walau tak terlalu paham dan bahkan tak pernah ku lihat tapi dia tau nama Datuak dan nenekku bahkan teman-teman nenekku. Sekali lagi Jogja mempertemukanku dengan kerabat jauh ku, dengan bonus es teh gratis.
         Aku membeli baju batik yang bertuliskan Malioboro yang langsung ku ganti saat itu juga. Tidak akan lupa ku belikan Ama beberapa daster Jogja ini yang beberapa hari yang lalu selalu diingatkannya. Sungguh rasanya bukanlah hal yang tepat utuk berlama-lama berbelanja disini, bahaya. Bisa benar-benar maruk dan buta aku di buatnya.
        Senja Malioboro melepas kepergianku, orange gelap langit memberiku rasa sedih, tak ada bulan dan bintang pun , mungkin tak tega melihat ku pergi.Terakhir ku sempatkan antri untuk berfoto di tulisan Maliobor, sebagai kenang-kenngan untuk ku lihatkan pada teman-temanku nanti. Setiap perjalanan aku tak bisa memejamkan mata , masih teringat dan mengingat semua kejadian dan kenangan yang di berikan Jogja kepadaku. Sangat bangga aku menjadi rakyat Indonesia, bisa ku temukan pelipur laraku “Jogja”. Ku simpulkan perjalanan ini sebagai sebuah semangat untuk mencari jalan lain kembali ke tanah Jogja. ku tekadkan diriku untuk kembali menabung dan kembali ke Jogja untuk waktu yang lebih lama, agar bisa ku sembahkan cinta dan syangku pada negeri pelajar ini.
         lalu ku tahu kenapa banyak orang jatuh hati pada Kota Jogja ini, karna Menjadi Jogja adalah Menjadi Indonesia, semua khas semua budaya , keramaian, hujan, dingin malam bahkan langit senjanya membawa semua orang merasakan Indonesia yang sebenarnya, Indonesia yang masih sederhana dan kental.. Ku harap semua generasi tau bahwa cukup dengan menjejaki kaki pada daerah-daerah di Negara ini mengenal setiap budaya dan menghargai perbedaan merupakan bukti cinta Tanah Air. Bahwa menjadi diri sendiri sebagai pemerbaik Negara adalah hal yang hebat bahwa Menjadi Jogja adalah Menjadi Indonesia. Peruntukkan kreatifmu pemuda pada Negara, berikan semngatmu pada Negara, lertarikan tarianmu dan anggunmu perempuan Jogja sebgai perempuan bangsa.buktikan menjadi Jogja menjadi Indonesia. Ku pegang erat janjiku bahwa Secepatnya akan ku temukan lagi jalan kembali menuju Tanah Jogja.

  
                                                                                                                          Indah Permata Sari
                                                                                                                            21 Agustus 2017 
                                                                                                                            @linstyne_indah

center




MENJADI JOGJA MENJADI INDONESIA       Keromantisan kota Jogja yang sering ku lihat di televisi menjadi imaginasi dalam otakku di tengah...